Sejarah Tanjung Priok

Kisah perjalanan di Hindia Belanda sebagai sumber sejarah Tanjung Priok

Sumber-sumber primer yang berupa arsip resmi pemerintah tentu tidak cukup mengungkapkan situasi yang lebih mendalam. Di samping itu arsip-arsip resmi pemerintah dianggap terlalu kaku, kering serta bersifat formil. Oleh karena itu diperlukan juga sumber-sumber lain. Untuk dapat mengungkapkan serta merekonstruksikan situasi di masa lampau dan menjadikan sejarah lebih manusiawi, khususnya dalam sejarah turisme awal abad ke-20 di Hindia Belanda, salah satunya adalah dengan menggunakan kisah perjalanan.
Kisah perjalanan dan tulisan semacamnya merupakan bagian dari bentuk akumulasi pengalaman atas budaya massa pada suatu masa. Kisah perjalanan memiliki aspek psikologis dan individual yang tidak saja menyangkut aspek-aspek spasial dan temporal, tetapi juga merupakan produk budaya masa tertentu yang kaya akan data yang diperlukan.

Perjalanan ke Jawa dan peraturan pembatasan kunjungan

Penemuan kapal uap dan dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19 semakin mempercepat perjalanan menuju Asia yang membuat orang Eropa bergairah untuk berkunjung ke negeri Timur. Demikian halnya ketertarikan orang Eropa untuk mengunjungi Jawa yang cukup besar. Meskipun Jawa hingga abad ke-19 oleh Augusta de Wit, seorang pelancong wanita Belanda, dalam kata pengantar bukunya Java: Facts and Fancies (1905) mengungkapkan bahwa Jawa adalah sebuah nama dan tempat yang dianggapnya paling ‘tidak masuk akal’ untuk dikunjungi (Spillane 1994:7). Jawa pada abad ke-19 menurut Arthur Walcott dalam Java and her neighbours (1914) tidak memiliki cerita-cerita yang cukup layak menjual selain berita-berita mengenai wabah penyakit, meletusnya gunung berapi, peperangan antar suku, dan kekerasan antar penduduk asli seperti amok, santet. Ditambah lagi adanya aturan yang membatasi bagi mereka yang hendak mengunjungi Hindia Belanda.
Para pendatang dan pelancong itu dalam waktu 24 jam harus menjelaskan mengapa mereka mengunjungi Hindia Belanda. Mereka diminta keterangan nama, umur, agama, kebangsaan, tempat mereka tinggal selama di Hindia, pekerjaan, nama kapal yang membawa mereka, dan nama kapten kapal tersebut. Setelah mereka memberikan keterangan, mereka yang ingin melakukan perjalanan keluar dari Buitenzorg (Bogor) sejauh 36 mil (57 km) harus mendapatkan toelatingskaart (kartu izin), semacam paspor yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal (Koninklijk Besluit 15 September 1871 No.1, Indische Staatsblad 1872 No.38 yang kemudian diubah dalam Indische Staatsblad 1881 No.226, 1890 No.186). Pemerintah Hindia Belanda kemudian mempertimbangkan apakah mereka yang meminta izin itu dapat diizinkan. Apabila mereka diketahui tidak memiliki kartu izin tersebut maka orang yang bersangkutan harus membayar denda sebesar 5 hingga 100 gulden. Kartu izin tersebut berlaku selama enam bulan dan dapat diperpanjang lagi.
Tentunya peraturan ini tidak berlaku bila mereka yang hendak melakukan perjalanan itu mendapat tugas dari pemerintah. Mereka (terutama yang berkebangsaan Belanda) dan keluarganya mendapatkan ‘kemudahan’ memasuki Hindia Belanda dibandingkan bangsa Eropa lainnya, kecuali tamu negara. Meskipun ketentuan ini pada abad ke-19 menjadi lebih luwes, tetap saja bila hendak melakukan perjalanan mereka harus bekerja sama dengan pemerintah yang menyediakan kuda-kuda, kapal-kapal dan penginapan

Augusta de Wit

Demikian halnya Augusta de Wit yang berkunjung ke Jawa pada awal abad ke-20 dalam rangka tugasnya sebagai wartawan Singapore Strait Times yang berpusat di Singapura. Dalam catatan perjalanannya Java: Feiten en Fantasieen (1905) ia juga menceritakan ketika mendarat di Tanjung Priok dan di mana-mana:
muncul para pembantu dengan koper-koper dan para penumpang dengan pakaian baru karena kami sudah mendekat dan semakin mendekat. Tidak lama lagi kapal ini berhenti, kami dengan perasaan lega memasuki dermaga Tanjung Priok. Kereta pun segera bergerak dan melaju kencang melintasi pemandangan alam liar, separuh hutan dan rawa.

Setelah menumpang kereta api dari stasiun Tanjung Priok menuju Batavia perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kereta kuda menuju daerah Rijswijk , sekarang JL. Veteran. Seperti halnya para penulis kisah perjalanan Eropa lainnya yang menceritakan rijsttafel : ‘ Tapi dari ini semua hanya satu yang persiapannya menjadi misteri terbesar serta diselenggarakan jam 12 siang yaitu rijsttafel.Ada dua hal yang menarik perhatiannya yaitu pertama, hidangan tersebut disajikan tidak di ruang makan biasa melainkan di bagian belakang Hal berikutnya yaitu para pelayan pribumi yang menghidangkan rijsttafel. Ia tertarik pada pakaian yang dikenakan para pelayan itu. Dengan kaki telanjang, mereka mengenakan pakaian potongan semi Eropa yang dikombinasi dengan sarung dan ikat kepala: ‘hidangan pedas itu disajikan bolak-balik dengan nyaris tak bersuara oleh para pelayan pribumi dengan kaki telanjang serta berpakaian separuh Indis, separuh Eropa.
Tentunya aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar, telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai.Pengalaman yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran.

Louis Couperus

Bukan pemandangan indah ketika kami datang, tetapi wajah-wajah ramah dari sanak saudara dan teman-teman yang datang menjemput yang bangga dengan sinar matahari. Mereka membawa kami dan kami dengan cepat berada di Batavia di Hotel des Indes di Weltevreden.

Couperus merupakan koresponden khusus untuk Haagse Post. Dari 71 tulisan yang dimuat harian itu untuk edisi 17 Desember 1921 hingga 5 Mei 1923, 41 tulisan dibukukan dalam Oostwaarts (1992, cetakan pertama 1924). Tujuan mengadakan perjalanan ke Hindia menurutnya adalah ‘ bukan untuk mempelajari situasi perekonomian, bukan untuk memberikan gambaran kolonisasi Hindia Belanda tetapi untuk membuat tulisan ringan tentang turisme.
Ia pun menceritakan tentang rijsttafel yang terkenal disamping makan siang ala Eropa yang disajikan hotel. Couperus mengingatkan untuk tidak terlalu banyak mengambil sambal – sambal oelek – yang pedas bagi ukuran orang Eropa. Sambal itu sebaiknya diletakkan di pinggiran piring dan jangan dicampur : ‘Bermacam-macam , bahkan seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja – awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol – lalu letakkan terpisah di pinggir piring Anda. Ia mengajarkan cara makan rijsttafel dengan sendok dan garpu. Setiap suap nasi dimakan dengan sedikit ayam, ikan atau daging, disertai sedikit sambal. Setiap suap nasi dinikmati dengan kombinasi lauk yang berganti-ganti karena setiap suap dapat dinikmati rasa yang berbeda

Kisah Hindia Belanda sebagai sumber sejarah

Memang bahan-bahan kisah perjalanan ini sering diabaikan sebagai sumber sejarah karena dikategorikan sebagai suatu fiksi subyektif. Namun, kita harus ingat bahwa sejarah itu adalah subyektif dan penulisan sejarah merupakan suatu cara menjelaskan sesuatu di masa lampau melalui rekonstruksi sedekat mungkin. Karya yang dihasilkan bukanlah sejarah itu sendiri tetapi suatu interpretasi.

Dalam upaya memanfaatkan kisah perjalanan harus diingat bahwa karya semacam ini sangat besar dipengaruhi oleh latar belakang seperti siapa penulisnya (umur, jabatan, gender, etnik, dan lain-lain). Selanjutnya apa motivasi mereka menuliskan itu. Serta kedekatan mereka dengan obyek yang ditulis. Dengan demikian sejarawan diharapkan melatih dirinya untuk dapat membaca apa yang dipikirkan oleh penulisnya. Tidak sekedar membaca produk yang dihasilkan melalui rangkaian naratifnya. Untuk itu diperlukan metode bantu untuk memahami karya –karya tersebut sebagai bentuk representasi. Dalam menganalisa teks kisah perjalanan tersebut dapat digunakan pendekatan teks ala Foucoult (1976). Sementara itu untuk memahami representasi kolonial, kita dapat menggunakan pendekatan orientalisme dari Edward Said (1991) sebagai pisau analisa.