Kisah perjalanan di Hindia Belanda sebagai sumber sejarah Tanjung Priok
Perjalanan ke Jawa dan peraturan pembatasan kunjungan
Penemuan kapal uap dan dibukanya Terusan Para pendatang dan pelancong itu dalam waktu 24 jam harus menjelaskan mengapa mereka mengunjungi Hindia Belanda. Mereka diminta keterangan nama, umur, agama, kebangsaan, tempat mereka tinggal selama di Hindia, pekerjaan, nama kapal yang membawa mereka, dan nama kapten kapal tersebut. Setelah mereka memberikan keterangan, mereka yang ingin melakukan perjalanan keluar dari Buitenzorg (Bogor) sejauh 36 mil (57 km) harus mendapatkan toelatingskaart (kartu izin), semacam paspor yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal (Koninklijk Besluit 15 September 1871 No.1, Indische Staatsblad 1872 No.38 yang kemudian diubah dalam Indische Staatsblad 1881 No.226, 1890 No.186). Pemerintah Hindia Belanda kemudian mempertimbangkan apakah mereka yang meminta izin itu dapat diizinkan. Apabila mereka diketahui tidak memiliki kartu izin tersebut maka orang yang bersangkutan harus membayar denda sebesar 5 hingga 100 gulden. Kartu izin tersebut berlaku selama enam bulan dan dapat diperpanjang lagi.
Tentunya peraturan ini tidak berlaku bila mereka yang hendak melakukan perjalanan itu mendapat tugas dari pemerintah. Mereka (terutama yang berkebangsaan Belanda) dan keluarganya mendapatkan ‘kemudahan’ memasuki Hindia Belanda dibandingkan bangsa Eropa lainnya, kecuali tamu negara. Meskipun ketentuan ini pada abad ke-19 menjadi lebih luwes, tetap saja bila hendak melakukan perjalanan mereka harus bekerja sama dengan pemerintah yang menyediakan kuda-kuda, kapal-kapal dan penginapan
Augusta de Wit
muncul para pembantu dengan koper-koper dan para penumpang dengan pakaian baru karena kami sudah mendekat dan semakin mendekat. Tidak lama lagi kapal ini berhenti, kami dengan perasaan lega memasuki dermaga Tanjung Priok. Kereta pun segera bergerak dan melaju kencang melintasi pemandangan alam liar, separuh hutan dan rawa.
Tentunya aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar, telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai.Pengalaman yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran.
Louis Couperus
Ia pun menceritakan tentang rijsttafel yang terkenal disamping makan siang ala Eropa yang disajikan hotel. Couperus mengingatkan untuk tidak terlalu banyak mengambil sambal – sambal oelek – yang pedas bagi ukuran orang Eropa. Sambal itu sebaiknya diletakkan di pinggiran piring dan jangan dicampur : ‘Bermacam-macam , bahkan seringkali dengan bumbu sambal yang banyak kita ambil sedikit saja – awas dengan sambal ulek yang terbuat hanya dari lada Spanyol – lalu letakkan terpisah di pinggir piring Anda. Ia mengajarkan cara makan rijsttafel dengan sendok dan garpu. Setiap suap nasi dimakan dengan sedikit ayam, ikan atau daging, disertai sedikit sambal. Setiap suap nasi dinikmati dengan kombinasi lauk yang berganti-ganti karena setiap suap dapat dinikmati rasa yang berbeda
Kisah Hindia Belanda sebagai sumber sejarah
Memang bahan-bahan kisah perjalanan ini sering diabaikan sebagai sumber sejarah karena dikategorikan sebagai suatu fiksi subyektif. Namun, kita harus ingat bahwa sejarah itu adalah subyektif dan penulisan sejarah merupakan suatu cara menjelaskan sesuatu di masa lampau melalui rekonstruksi sedekat mungkin. Karya yang dihasilkan bukanlah sejarah itu sendiri tetapi suatu interpretasi.